Menu

Mode Gelap
 

Hiburan · 15 Des 2020 00:59 WITA ·

Barista yang Pesimistis: “Sebuah Interupsi bagi Konsumerisme”


 Barista yang Pesimistis: “Sebuah Interupsi bagi Konsumerisme” Perbesar

Warkop Enam Belas. Depan Rumah Sakit Anutapura. Jepretan usato Panji Datunsolang

 


“Setiap lidah, punya hak untuk menentukan rasanya sendiri


Matahari mulai muncul dari ufuk. Semua orang mulai larut dalam aktivitas ambisi masing-masing. Entah itu di dorong oleh materi (seperti lagunya fourtwnty, Zona Nyaman), ataupun atas dasar rasa tanggung jawab sebagai manusiawi yang memenuhi kebutuhan materialnya. Yang jelas, pagi saya hari ini terselamatkan oleh Office boy (OB) rumah sakit. 



“Mas…mas…maaas! Permisi, saya mau bersihin toiletnya sebentar” 



Kira-kira begitu cara pagi saya terselamatkan—karena saya tidur di rumah sakit (jagain nenek yang lagi dirawat) Anutapura Palu yang sarat akan ragam administrasi yang mencekik itu. Setidaknya begitu mendiang sosiolog Jerman Max Weber liatnya.



Di rumah sakit. Di samping ranjang nenek. Bukan di toilet. Huu, OB yang ngesalin. Sudah gangguin orang tidur, buat orang gagal paham pula.



Tapi, saya harus tetap berterima kasih pada OB tadi, karena sudah menyelamatkan pagi saya mesti ada campur kesal juga karena tidur nyenyak saya diganggu. Saya bisa saja kesal tanpa harus berkata-kata, dan, sih OB itu bisa buat tambah kesal kalau saja ia dengan kata-kata “Kalau mau rebahan, di rumah sana”.



Jadi, kalau ada yang berfikir ia bisa tidur nyenyak di rumah sakit, hanya ada satu kemungkinan, dia adalah pasien.



So, dari pada saya kena komplikas, sakit kepala karena menahan ngantuk, dan sakit hati plus jiwa karena tidur saya terganggu oleh sih OB, saya putuskan pergi ke tempat biasa saya ngopi yang hanya bersebrangan jalan dengan rumah sakit.



“Mas, kopi hitam satu ya”



Kedai kopi yang saya tempati sederhana. Tidak seperti kedai-kedai pada umumnya yang dilengkapi dengan “free wifi”, gambar-gambar kalikatur, ataupun tulisan-tulisan abstrak yang menghiasi setiap sudut dinding kedai kopi agar mengundang perhatian kaum ABG (Agar Bisa Gaul) yang haus akan pemenuhan atas insta story. Tidak betul-betul ingin menikmati kopi.



Tak heran, kalau kedai kopi yang saya tempati hanya diisi oleh kaum tua saja. Kamu muda ke mana? 



Itu problem yang pernah buat murka Ben, sih barista yang filosofis itu, saat Jody temannya menyarankan agar kedai kopi milik mereka dipasangkan wifi gratis biar mengundang pengunjung. 



Ben tak jarang bersebrangan dengan Jody sahabat karibnya yang tidak terlalu ambil pusing pada perasaan pelanggannya tentang kopi buatan Ben, melainkan lebih sibuk pada hal-hal yang penuh dengan pertimbangan-pertimbangan dan kalkulasi atas capaian-capaian untuk memajukan bisnis kedai kopi mereka. Kalau bisa, jangan sampai sepih pengunjung.



“Ini kopi hitamnya Mas” ujar pelayannya yang sudah tidak mudah lagi sembari menyodorkan kopi hitam pesanan saya dengan gula yang dibuat terpisah.


“O, gulanya ditakar sendiri ya” Langsung saja respon saya. Biasanya saya pesan kopi susu soalnya. 



Kenapa kopi susu? Kau pasti tahu jokpin, “kopi membuat matamu menyala, susu membuat matamu manja”.



“Iyee Mas. Takut tidak sesuai dengan selera. Soalnya belajar pada kedai-kedai di luar sana yang langsung menyajikan kopi dan gulanya sekalian, walhasil, banyak yang tidak sesuai dengan selera sih pelanggan.”



“O, gitu ya”.



“Iye Mas. Kalau begini, kan kita bisa atur sendiri sesuai seleranya kita. Mau dibuat pahit maupun manis, kita yang tentukan.” Lalu pergi membiarkan saya menakar kopi saya sendiri. Kayaknya, orang tua itu barista juga pelayan sekaligus. Pun yang punya kedai.



Barista yang pesimistis. Menarik. Saya membatin sambil memastikan kalau kopi yang saya takar sudah sesuai selera.



Saya jadi ingin mengecek Ben lagi, sih barista yang selalu optimis dan sangat mengagumkan Perfecto-nya yang ia sebut sebagai suatu mahakarya dengan nilai tinggi, namun takluk di hadapan Kopi Tiwus, kopi sederhana dari sebuah warung di desa kecil milik Pak Seno, dan mencoba mencari benang merah dari keduanya.



Bagi Ben, rasa kopi yang sempurna tidak lahir dari hal-hal yang instan yang sarat dengan perhitungan-perhitungan, ataupun pertimbangan-pertimbangan yang kaku. Ia lebih dari itu. Ia adalah pengejawantahan bagi setiap perasaan kita (Nonton Filosofi Kopi 2). 



Bagaimana dengan barista yang pesimis tadi, yang tidak mau ambil pusing untuk menciptakan kopi dengan nilai tinggi layaknya perfecto alah Ben, dan membiarkan kopi yang ia sajikan dengan gula terpisah menemukan sendiri rasa untuk tuannya?



Bagi saya, ini bukan perkara mudah. Sebab, ini soal rasa. Dan saya tidak ingin menceritakannya dengan cara yang gampangan.



Saya bisa saja bersepakat dengan barista yang menyajikan kopi dengan gula secara terpisah tadi, bahwa setiap lidah berhak menentukan rasanya sendiri.



Ia bukan sesuatu yang bersifat pemberian, melainkan sesuatu yang lahir dari kesadaran kita sendiri dalam menentukan setiap rasa dalam hidup.



Bagi saya, menyajikan kopi dengan gula secara terpisah adalah suatu interupsi bagi kesadaran dengan kesadaran yang terlalu dibuat-buat di dunia yang makin konsumerisme. Atau suatu kesadaran yang bersifat semu.



Ada sebuah filosofi yang tidak pernah ditulis, tapi selalu ada dalam setiap cangkir kopi kita: 



“setiap hal yang punya rasa, selalu punya nyawa”



Dee Lestari





Penulis:

Panji Datunsolang

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Demokrasi Radikal, dan Komedi Tunggal

11 Juni 2023 - 16:59 WITA

Prancis, Kolonialisme dan Sepak Bola

11 Desember 2022 - 09:09 WITA

AGNOSTISISME: Antara Keterbatasan Pikiran Atau Lumpuhnya Keimanan

5 Mei 2022 - 00:24 WITA

Tentang Maaf Lahir Batin

3 Mei 2022 - 11:59 WITA

Assalamualaikum Pak Dokter! (Bag. 1)

10 September 2021 - 12:50 WITA

Surat Terbuka untuk Alin

24 Mei 2021 - 19:10 WITA

Trending di Esai