Menu

Mode Gelap
 

Opini · 20 Mar 2022 10:44 WITA ·

Barat-Timur Bolmut: Residu Politik di Ruang Tersembunyi


 Barat-Timur Bolmut: Residu Politik di Ruang Tersembunyi Perbesar

Peta Bolmut. Sumber: petatematik.wordpress.com


Tahun politik di depan mata. Ruang-ruang publik
Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) pun mulai diisi arus besar pembicaraan suksesi
kepala eksekutif dan legislatif daerah. Terkesan agak terburu-buru memang. Namun, begitu
wajah politik kita: Tak perlu membicarakan banyak hal substansial, sebab
kekuasaan lebih menarik dari hal tersebut.

 

Jika memotret kontestasi itu ada banyak residu yang
ditinggalkan dan tak pernah dipikir untuk dibersihkan. Hal itu berasal dari tiga kali Bolmut melaksanakan pemilihan kepala eksekutif dan legislatifnya. Di perhelatan tersebut residu 
 berserakan; tergambar jelas dari arah
pembicaraan publik kini, kebijakan, idiom, dan atau
“pembagian kue”.

 

Beberapa ruang yang paling remeh sekalipun,—seperti
kemunculan idiom-idiom baru—menyirat makna dari bias politik pemilu. Di antara
yang dimaksud adalah kemunculan istilah Barat
Bolmut
& Timur Bolmut. Terma ini bukan saja kesadaran tentang
teritori, namun, adalah konsekuensi antropologis dari persaingan
kultural. Sebab, sejatinya, idiom ini sarat akan wajah politik, kebudayaan,
ekonomi dan tata kelola pemerintahan.  Secara jelasnya, saya tidak tahu kapan
istilah ini muncul. Namun, sejauh ini saya mendengarnya pertama kali di tahun
2013, saat mendiskusikan Bolmut dengan beberapa politisi dan aktivis.

 

Opini tentang definisi Barat dan Timur Bolmut setidaknya
merujuk kepada; yaitu, Barat Bolmut meliputi Pinogaluman, Kaidipang Bolangitang
Barat, & Bolangitang Timur (Sebagian), sedangkan Timur meliputi:
Bolangitang Timur (Sebagian), Bintauna dan Sangkub. Pemilahan ini sejauh yang
bisa diduga (perlu penelitian mendalam) terkonstruksi lewat basis politik dari
dua figur sentral pada perhelatan pilkada dalam 
sepuluh tahun terakhir. Yaitu, Timur diwakili oleh Hamdan Datunsolang
(HD) dan Barat diwakili Depri Pontoh (DP). Beberapa orang menyebut persaingan
ini sebagai perang klasik.

 

Oposisi
Biner

 

Jika kita membaca penelitian yang ada wajah seperti
ini tampak dalam kehidupan sosial-politik perkotaan. Misalnya, Stevano Sumampouw
(Menjadi Manado… 2018), menggambarkan dari sudut pandang antropologi guna melihat
kondisi kota Manado yang terbagi menjadi dua: Manado Selatan dan Manado Utara.
Keterpisahan tersebut diwakili melalui istilah sabla aer, yang kontras dengan slogan Torang Samua Basudara. Serupa dengan hal tersebut Bolmut mempunyai
kondisi yang serupa namun tak sepenuhnya sama. Atau bahkan lebih luas lagi kondisi
seperti ini juga tergambar dalam persaingan dua wajah dunia kini paska perang
dunia yaitu Barat vs Timur.

 

Bolmut
Barat-Bolmut Timur
sebagai kondisi oposisi biner, di mana
hal tersebut berkelut-kelindan menempatkan ada yang superior dan ada yang
inferior, atau dalam beberap praktik kebijakan, ada yang mesti menjadi korban sebagai
“anak tiri” (Istilah anak tiri saya
temukan juga dalam beberapa diskusi lepas), yang menempatkannya sebagai the other.

 

Jika basis sosial-politik dalam karya Sumampouw
(2018), pengkonstruksiannya berdasar pada penduduk
asli
dan penduduk pendatang, maka
lain halnya dengan Bolmut, yang muncul karena konstruksi politik swapraja.
Ditambah upaya politik kontemporer yang mensyaratkan afiliasi konstruksi
tersebut sebagai acuan untuk meraup suara.

 

Hal ini begitu terasa, dalam satu dekade terakhir,
yang menampilkan persaingan politik  Barat Bolmut  vs Timur
Bolmut
yang diwakili DP dan HD. Apalagi ini juga tergambar dalam protes-protes
yang muncul pada porsi pembagian APBD. Kita masih akan dapat melihat basis
kritik tersebut lebih banyak terasosiasi dengan konstruk Barat & Timur Bolmut ini.
(Lihat: https://www.kordinat.id/2022/01/porsi-anggaran-untuk-enam-kecamatan-di-bolmut-2022-tak-merata/)

 

Akhirnya beberapa asbab ini melahirkan kondisi—tidak
hanya dalam dunia politik sebagai pemicunya—di berbagai kehidupan masyarakat
Bolmut pun terpecah menjadi dua kutub. Bahkan, dalam ruang-ruang tertutup
mendiskusikan Bolmut sebagai amanat pemekaran untuk mensejahterahkan rakyat  luas, kadang, menjadi sesuatu yang kalah
penting dibanding supremasi politik dari dua kutub ini.

 

Titik
Temu


Perdebatan ini sebenarnya bukan tanpa jalan keluar.
Setidaknya dalam kurun waktu terdahulu kita bisa menjadikannya pijakan untuk
mencairkan suasana. Seperti kosa kata Binadow dianggap perlu untuk kembali
digaungkan sebagai identitas pemersatu Bolmut. Pembentukan Binadow merupakan
upaya mengkonsturksi kesepakatan-kesepakatan sebelum dan saat pemekaran. Namun,
memang tat kala opsi Bolaang Mongondow Utara dipilih, permufakatan itu menjadi
samar, sebab alasan yang paling kuat untuk otonomisasi (pemekaran) adalah
identitas kultural, dan Binadow (sebagai genuine
identitas kultural) sebenarnya menjadi alasan kuat pembentukan identitas
pemersatu tersebut guna memekarkan diri. Jika beberapa orang menganggap nama
bukan hal substansial, tapi sebenarya nama (Bahasa) adalah bentuk kesadaran
komunal yang terwakili oleh istilah yang muncul, dan ini terafiliasi dengan
konsep politik/ideologi tertentu.

 

Syahdan, menjadi teramat penting, dalam upaya pembentukan
kembali kesatuan yang—sejauh ini—bisa dilacak terbentuk sekitar tahun 60’-70’-an
untuk menyebut wilayah di pantai utara, Sulawesi Utara, sebagai Binadow. Selain
hal tersebut, konsensus pemekaran juga mesti ditinjau kembali dalam setiap
perhelatan politk praktis. Sebab, kecenderungan terbesar pemilahan Barat-Timur Bolmut muncul dari
kontestasi perebutan kekuasaan.

 

Secara jujur, jika dalam
beberapa dekade ke depan permasalahan ini tidak dipandang penting, maka
kemungkinan terjadi penebalan identitas yang bisa digunakan untuk menciptakan konflik
horisontal dan dapat menjadi mimpi buruk kelak. Kita tahu betul dalam studi konflik,
pemicu konflik berkepanjangan yang melibatkan banyak kelompok, kerap ada campur
tangan supremasi politik-ekonomi, yang tergambar 
dalam simpul berbagai jenis struktur relasi
kuasa.


Penulis,

Ersyad Mamonto,

Rakyat Bolmut.

Artikel ini telah dibaca 1 kali

Baca Lainnya

REFLEKSI HARI PAHLAWAN : (Keteladanan Nilai – nilai Perjuangan Pahlawan)

10 November 2023 - 16:29 WITA

Refleksi 17-an: Bendera Partai Masi Lebih Tinggi dari Merah Putih

16 Agustus 2023 - 16:53 WITA

Refleksi 17-an: Sudahkah Kita Merdeka?

11 Agustus 2023 - 14:19 WITA

Isu SARA dan Money Politic dalam sistem Demokrasi

7 Mei 2023 - 16:32 WITA

Apakah Matematika Sebagai Standar Kepintaran?

26 Maret 2023 - 19:36 WITA

Euforia 1 Abad Nahdlatul Ulama

9 Februari 2023 - 01:40 WITA

Trending di Opini