Menu

Mode Gelap
 

Sosbud · 11 Jan 2021 13:09 WITA ·

Bahasa Daerah Bintauna dan Tantangan Kedepan


 Bahasa Daerah Bintauna dan Tantangan Kedepan Perbesar

Detik.com


Sejurus dengan 10 objek kebudayaan, bahasa adalah satu diantaranya. Bahasa sejatinya adalah produk komunikasi yang dihasilkan dari sebuah pergumulan kelompok manusia yang begitu panjang. Rumusan pola kata dan kalimat menjadi sebuah bahasa membuat manusia satu dengan yang lainnya saling terhubung dan memahami.


Budaya oral, mampu mengupayakan sebuah diskusi penting terjaga kerahasiaannya jika berada diluar komunitas. Meskipun, kita ditengah-tengah khalayak. 


Di indonesia, ada begitu banyak bahasa daerah yang mencerminkan peradaban suatu bangsa. Bolaang Mongondow Utara khususnya, sebuah Kabupaten yang terdiri dari 2 bahasa daerah, yakni bahasa Kaidipang besar dan Bintauna. Ini merupakan kekayaan budaya dalam suatu daerah.


Bahasa, masuk dalam kategori warisan budaya “tak benda”. Di Bintauna sendiri, bahasa mampu melahirkan berbagai produk seni. Diantara Sollivako, kingkulli, Pantungo (syair, penceritaan sejarah, dan pantun). 


Suatu kebanggan jika ini tetap lestari. Akan tetapi, kebanggan itu perlahan mulai menurun. Bukannya pesimis. Namun ini adalah realita yang sedang bergulir. Bahasa daerah kini tak lagi digemari. Kaum muda maupun tua, banyak yang pasif menggunakannya.


“Nyanda gaul” istilah yang tak jarang terlontar dari mulut beberapa orang. Sebuah istilah yang menandakan tidak percaya diri sebuah komunitas akan sebuah identitasnya.


Beberapa bulan terakhir, penulis coba mengamati dinamika yang terjadi dilapangan perihal bahasa daerah. Ada beberapa aspek yang kemudian menjadi pemicu bahasa daerah tak lagi digemari dan perlahan hilang.


Pertama, orang tua sebagai madrasah pertama, kurang peka akan perannya. Usia muda adalah usia ideal untuk mengisi batok kepala mereka dengan berbagai pengetahuan. 


Salah satunya pengetahuan akan bahasa daerah. Mulai dari berhitung, bernyanyi, dan komunikasi sehari-hari, bahasa dibiasakan agar tertanam rasa percaya diri pada si anak akan warisan budaya leluhurnya. Dengan begitu, lingkungan tak akan berhasil mempengaruhi dan merubah si anak.


Kedua, tenaga pendidik. Seharusnya, tenaga pendidik yang diberi kepercayaan mengemban mata pelajaran Seni Budaya, adalah orang tulen di daerah itu. Agar supaya, local wisdom yang ada, dapat diajarkan sebagaimana foksi dari nama mata pelajaran itu sendiri. 


Sebagaimana pengamatan saya, hanya beberapa orang saja tenaga pendidik baik SD, SMP, SMA yang tulen dan aktif berbahasa daerah Bintauna. Selain itu, pasif dan bukan warga asal.


Yah. Tapi mau bagaimana lagi. Kebijakan perekrutan tenaga pendidik oleh Pemerintah, juga peran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, kesadarannya akan warisan budaya belum sepenuhnya terbangun.


Ketiga, Teknologi. Era teknologi semakin memuncak. Televisi dan gadget mewarnai sendi kehidupan manusia. Beragam tontonan tersaji. Mulai dari Kartoon, Drakor, film Bollywood, Hollywood, sinetron, dan lain sebagainya, perlahan tanpa kita sadari, menjadi pemicu bahasa tak lagi digemari. Pelafalan lagu dalam seri film misalnya. Tanpa canggung kita menyanyikan bahasa asing. 


Meskipun begitu, tak sepenuhnya teknologi membawa sisi negatif. Youtube, adalah solusi bagi keberlangsungan bahasa daerah diera teknologi. Lewat sebuah film pendek misalnya. Alur cerita yang menggunakan dialog bahasa daerah adalah alternatif.  


Sekaligus mengenalkan kepada khalayak “ini torang pe bahasa (ini bahasa kita)”. Atau, joox, satire, dan meme yang memuat sebuah kalimat yang disalin kebahasa daerah.


Kita mesti patut berbangga dan menepuk dada. Jati diri kita sebagai suatu daerah dapat dengan mudah diidentifikasi melalui dialeg bahasa. Pun, sebagai penanda bahwa kita adalah manusia yang punya peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer : “Tanpa mempelajari bahasa sendiri, orang tak akan mengenal bangsanya sendiri.”



Penulis: 

Rian Laurestabo

PUSSAKABin-ISC (Pusat Studi Sejarah, Adat & Kebudayaan Bintauna-Inomasa Study Club)

Editor:

Panji Datunsolang

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Saudagar dari Boeko, ‘Ajoeba Saidi’

15 November 2023 - 07:14 WITA

Maluku, Jejak Kelampauan dan Kekiniannya

5 Mei 2023 - 23:04 WITA

Ramadhan dan Bola Api

27 Maret 2023 - 22:04 WITA

LONG-LONG : Mainan Tradisional Bulan Ramadhan yang Hilang di Makan Zaman

27 Maret 2023 - 06:35 WITA

Lontong Medan: Cita Rasa dan Sensasi Keberagaman

12 Maret 2023 - 12:14 WITA

Sedikit Catatan Tentang Sejarah Kerajaan Kaidipang Besar

11 Maret 2023 - 13:08 WITA

Trending di Esai