Arif Menyikapi Perbedaan

5 min read

Sumber Ilustrasi: medcom.id


Perbedaan adalah sunnatullah dan
keragaman adalah kenyataan yang menunjukkan ke-Maha-Besar-an Sang Khaliq. Allah
Swt menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain sesuai dengan ciri khasnya
masing-masing.

 Allah berfirman:

 

Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kalian saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kalian adalah yang
paling taqwa

(QS. al-Hujurat: 13).

 

Ayat ini merupakan bentuk pengakuan
mengenai realitas keberagaman, termasuk keberagaman di bidang keyakinan. Karena
itu, keterbukaan, toleransi dan menghormati agama-agama lain merupakan aspek
penting dalam Islam. Al-Quran menegaskan dengan jelas, “Tidak ada paksaan
dalam agama”
(QS. al-Baqarah: 256), “dan bagimu agamamu, bagiku agamaku”
(QS. al-Kafirun: 6). Al-Quran juga memerintahkan kaum muslim agar tidak mencaci
maki orang yang menyembah selain Allah karena mereka tidak tahu (QS. al-An’am).
Al-Quran juga mengajarkan agar orang yang beriman menunjukkan rasa hormat
kepada semua Nabi, bahwa “mereka semua beriman kepada Allah dan
malaikat-malaikat-Nya dan Kitab-kitab Suci-Nya dan Nabi-nabi-Nya. Kami tidak
membeda-bedakannya”
(QS. al-Nisa’:150-151).

 

Inilah sebabnya, kaum Muslim menghormati
seluruh Nabi hingga Nabi terakhir Muhammad Saw., apakah nabi-nabi itu namanya
tercantum di dalam al-Quran maupun tidak. Al-Quran juga tanpa ragu-ragu
menegaskan bahwa surga tidaklah dimonopoli oleh sekelompok agama tertentu saja.
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan dia berlaku baik (muhsin), dia akan mendapat pahala
dari-Nya (QS. al-Baqarah: 112).

 

Saat ini sulit
sekali menemukan suatu negara atau bangsa dengan warga negara yang berasal dari
satu ras, satu agama atau satu ideologi saja. Ketunggalan suatu negara dalam satu
ras, suku dan agama semakin jarang terjadi karena mobilitas penduduk yang kian
meningkat. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain – baik karena
alasan profesional maupun alasan personal melalui ikatan pernikahan –
menunjukkan kecenderungan yang kian meningkat. Ini menyebabkan keragaman
menjadi semakin tak terhindarkan.

 

Sebagai
sunnatullah, perbedaan dan keragaman merupakan kehendak Allah Swt. Dalam
beberapa ayat al-Qur’an disebutkan, antara lain:

Kalau saja Allah berkehendak, maka Ia akan
jadikan mereka menjadi satu umat saja, tetapi ada orang yang dikehendaki-Nya
masuk dalam rahmat-Nya, sementara orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka
seorang pelindungpun atau seorang penolong
” (QS. Asy-Syura, 42: 8).

 

 “Jika
Tuhanmu berkehendak, maka akan beriman seluruh orang di muka bumi  ini, apakah kamu mau memaksa orang-orang agar
mereka beriman. Seseorang tidak akan beriman, kecuali atas izin Allah, dan
Allah jadikan keburukan bagi orang-orang yang tidak berakal
” (QS. Yunus,
10: 99-100).

 

Kita perlu
bersikap arif menghadapi perbedaan dan keragaman, bukan semata-mata karena kehidupan
ini penuh dengan keragaman, tetapi juga karena manusia tidak bisa lagi hidup
sendiri di dunia jagat raya ini; semuanya saling terkait satu sama lain dan
tidak bisa lagi mengelak dari pengaruh yang lain. Salah satu kemajuan penting
abad dua puluh satu adalah kenyataan bahwa seluruh negeri-negeri ini telah
menjadi tetangga kita berkat kemajuan teknologi informasi yang semakin
menglobal.

Jika masalah
keragaman tidak ditangani dengan serius di tengah gegap gempita pertemuan
berbagai kebudayaan dalam peradaban global, maka perang peradaban bisa semakin
dekat dengan kenyataan.
   

                                                             

Menghargai Perbedaan, Menghindari Konflik

 

Realitas keragaman itu tentu tidak
bisa dibiarkan apa adanya tanpa ada usaha mengembangkannya dalam suatu harmoni
sosial. Sebab, jika tidak dikelola dengan baik, maka perbedan dalam keragaman
dapat menjadi bibit-bibit konflik. Perbedaan budaya, bahasa, asal usul, etnis
dan keyakinan memang tidak pernah betul-betul menjadi pemicu konflik. Tapi
perbedaan dan keragaman seperti itu bisa menjadi kendaraan efektif bagi
berbagai kepentingan yang dengan mudah menumpanginya. Perbedaan memang tidak
menjadi masalah, tapi begitu kepentingan masuk ke dalamnya, maka perbedaan yang
sebelumnya berupa rahmat bisa dengan cepat berubah menjadi laknat.

 

Karena itu, dibutuhkan sikap yang
lebih menghargai perbedaan dan keragaman. Sikap yang tidak hanya mengakui
adanya kelompok lain, tetapi juga memberi perlindungan terhadap kelompok lain
yang terancam. sebuah sikap pro-aktif untuk menjaga harmoni sosial dalam
realitas yang beragam.

 

Namun, dalam konteks agama, rupanya
keragaman tidak semudah dalam konteks lainnya. Kita perlu memikirkan secara
serius masalah perbedaan agama yang sering dijadikan sebagai satu-satunya
identitas pembeda. Dalam identitas etnis, seseorang bisa saja separuh Cina dan
sekaligus separuh Jawa, tapi dalam identitas agama, seseorang tidak bisa
memiliki identitas separuh Islam atau separuh Budha misalnya.

 

Itulah sebabnya, cara pandang
terhadap keragaman perlu diperbarui. Selama ini cara pandang keragaman agama
terlalu ditekankan pada aspek normatif, bahwa ajaran agama sangat mendukung
keragaman dengan mengutip sejumlah ayat kitab suci. Padahal, realitas yang ada
dalam kitab suci sangat berbeda dengan realitas yang kita hadapi sehari-hari.
Ada jarak yang demikian lebar antara ajaran luhur kitab suci dengan realitas
empiris di depan mata.

 

Jika kita gagal memperbaharui cara
pandang ini, maka yang paling terancam sebetulnya adalah umat beragama itu
sendiri. Sebab, jika satu kelompok agama terus hidup dalam komunitasnya sendiri
sambil bersikap curiga dan menganggap kelompok agama lain sebagai musuh, maka
yang akan terjadi adalah perang agama. Itulah sebabnya, kebenaran agama tidak
cukup ditunjukkan hanya dengan ajaran yang terdapat dalam kitab suci, tetapi
juga dibuktikan dengan keterlibatan agama itu sendiri untuk turut menyelesaikan
berbagai problem kemanusiaan yang kian hari kian kompleks.

 

Problem kemanusiaan yang kian
kompleks tentu tidak mungkin diserahkan penyelesaianya hanya kepada satu
komunitas agama. Dalam konteks seperti ini, mestinya kaum beriman sudah
malampaui dialog dengan melakukan aksi nyata secara bersama-sama dalam rangka
menanggulangi berbagai bentuk problem kemanusian. 


Akhlaq
dalam Perbedaan

Sebagai
sunnatullah, tentu saja perbedaan memerlukan etika atau akhlaq. Sebab, jika
perbedaan dibiarkan tanpa akhlaq, maka sangat mungkin perbedaan itu berubah
dari rahmat menjadi laknat. Sudah menjadi tugas manusia sebagai khalifah fil
ardl
untuk memelihara dan melestarikan pesan moral dari hadits yang
menegaskan bahwa perbedaan adalah rahmat.

 

Perbedaan dan keragaman bukan sesuatu
yang terjadi dengan sendirinya, melainkan memang sudah disengaja oleh Allah
Yang Maha Pencipta.


Kalau saja Tuhanmu berkehendak, maka Ia akan
menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja, tetapi mereka akan tetap
berselisih dan berbeda pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu, Dan karena itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu telah
ditetapkan. Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia
(yang durhaka) semuanya”
. (QS. Hud, 11: 118-119).

 

Sebagai hasil ciptaan ALLAH, tentu
saja perbedaan dan keragaman mempunyai tujuan. Allah Swt menciptakan langit dan
bumi dan seluruh isinya tidak sia-sia. Selalu ada tujuan dalam menciptakan mahluk-Nya.
Salah satu tujuan diciptakan-Nya keragaman adalah agar manusia saling kenal dan
saling tolong menolong.

Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(al-Hujurat ayat 13)

 

Namun, dalam kenyataan sehari-hari,
kita melihat bahwa perbedaan seringkali menjadi pemicu konflik. Perbedaan tidak
dilihat sebagai rahmat, tapi justru dianggap sebagai bencana. Keragaman
dianggap sebagai bencana. Dari cara pandang inilah lahir upaya-upaya untuk
mengingkari perbedaan dengan cara penyeragaman. Karena menyalahi Sunnatullah,
maka penyeragaman ini melahirkan konflik berkepanjangan, bahkan diwarnai
kekerasan. Sudah berapa banyak nyawa dan harta melayang karena manusia tidak
mampu mengelola perbedaan dan keragaman.

 

Sudah banyak usaha yang dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut melalui pendekatan toleransi. Sayangnya,  toleransi selama ini hanya difokuskan pada
hidup berdampingan secara damai antara satu kelompok dengan kelompok yang lain,
tanpa ada usaha untuk membuka ruang komunikasi yang lebih terbuka di antara
kelompok-kelompok tersebut. Sehingga mereka hidup dalam ketidaktahuan satu sama
lain.

 

Usaha dialog antar pemeluk agama juga
sudah lama dilakukan, namun usaha ini lebih bersifat retorik ketimbang empirik.
Upaya dialog biasanya lebih sering mencari titik temu ketimbang mencoba
mengelaborasi keunikan masing-masing kelompok. Padahal, substansi toleransi
bukan pada persamaan, tetapi justru pada pernghargaan terhadap perbedaan.
Manusia bergaul akrab dengan yang lain bukan semata-mata karena adanya
kesamaan, tetapi terutama karena adanya perbedaan yang menandai keunikan
masing-masing. Akibat dialog yang hanya bersifat permukaan tidak mampu
memberikan saling pengertian dan pemahaman mengenai keunikan masing-masing. Keunikan
tetap tersembunyi di balik permukaan. Ironisnya, ketika terjadi dialog,
masing-masing kelompok seringkali masih menggunakan bahasa agamanya
sendiri-sendiri sehingga dialog yang berlangsung pun tak ubahnya seperti
berbicara kepada diri mereka sendiri, bukan dengan kelompok lain yang berbeda.

 

Dialog semacam itu harus digeser dari
upaya mencari persamaan ke upaya mengenali keunikan masing-masing. Dan, di atas
itu semua, tentu saja dialog itu harus ditingkatkan lebih dari sekadar saling
mengenal, tetapi juga dalam bentuk dialog kemanusiaan misalnya. Tema dialog
yang mesti diangkat bukan tema-tema keagamaan, tetapi tema-tema kemanusiaan
yang menyangkut kepertingan dan problem bersama.

 

Persoalan lainnya adalah bahwa  dialog antar-agama yang selama ini dilakukan
hanya terjadi di kalangan elite agama tanpa melibatkan kelompok arus bawah.
Padahal justru kelompok arus bawa lah yang seringkali bersentuhan secara riil
dengan kelompok lain. Mereka hanya mengetahui kelompok lain berdasarkan
prasangka, sehingga ketika terjadi persentuhan diantara mereka – apalagi jika
kemudian diwarnai ketegangan – tentu saja akan sangat mudah memicu konflik
diantara mereka.

 

Karena itu, yang paling penting
sebetulnya adalah dialog di tingkat akar rumput. Karena di sanalah persinggungan
yang sesungguhnya terjadi. Sudah saatnya kita sebagai khalifah fil ardl memulai
usaha yang lebih serius untuk membumikan pesan moral dari tujuan diciptakannya
keragama ini. Allah Swt menciptakan perbedaan bukan untuk saling bermusuhan,
tetapi justru untuk berkenalan, belajar satu sama lain dan tolong menolong
dalam kebaikan.***



Penulis, 

Ust Fathoni Muhammad, salah
seorang pimpinan PP. Al Miftah Gresik, pengurus Lembaga Bahtsul Masail PWNU
Jawa Timur

Goyo yang Sendu

Ilustrasi: Anak-anak Desa Goyo Setiap sore; dahulu di sini, desa di pelosok paling Utara Celebes, atau biasa disebut “Goyo” Anak-anak bermain riang, permainan tradisional...
admin
2 min read

Polemik Legalisasi Miras: Kemana Kita Mengarahkannya?

Sumber ilustrasi: kanalberita.co 1920 – 1933 di Amerika Serikat dikenal dengan Era Pelarangan (Prohibition Era) yaitu tahun-tahun di mana minuman keras diharamkan di Amerika...
admin
1 min read

Belenggu Cantik dan Hal-hal yang Belum Selesai

Ilustrasi : Pobela.com Dulu, kerap kali menatap diri di cermin, selalu saja berucap kalimat yang pada akhirnya adalah pengeluhan. Kenapa sih kok begini? Kenapa...
admin
3 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *