Menu

Mode Gelap
 

Review Buku · 1 Jan 2021 12:10 WITA ·

Anak Semua Bangsa, dan Upaya Mengenal Rakyat dari Dekat


 Anak Semua Bangsa, dan Upaya Mengenal Rakyat dari Dekat Perbesar


Sumber gambar, Mbah Google


Anak Semua Bangsa adalah kelanjutan dari Bumi Manusia. Dalam fase ini minke yang semula mengagungkan budaya Eroupa sebagai kiblatnya peradaban serta tingginya ilmu pengetahuan, tergugah kesadarannya karena tindakan kolonial yang sangat bertentangan dengan apa yang dijanjikan ilmu pengetahuan Eroupa yang menjunjung tinggi akan kebebasan, persamaan serta persaudaraan.


“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Dimana pun ada yang mulia dan jahat. Dimana pun ada malaikat dan iblis. Dimana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis” – hal 110.


Dalam tetralogi buru bagian dua (Anak Semua Bangsa) ini juga adalah periode observasi atau turun kebawa dan mengenal kehidupan masyarakat akar rumput. Kehidupan bangsanya sendiri.


Perjalanannya dalam mengenal bangsanya yang terinabobokan dengan ketidaktahuan perkembangan ilmu dan terpinggirkan dari sektor ekonomi dan budaya, membuat ia tergugah untuk membelah serta memajukan bangsanya. Dalam perjalanannya itu juga ia dipertemukan dengan sosok seperti trunodonso seorang petani yang melawan para mafia tana dengan hanya bermodalkan parang tanpa alas hukum sama sekali.


Kesadaran Minke dalam mengenal dan memajukan bangsanya tidak lahir dari ruang hampa. Tapi karena pergaulannya yang luas seperti digambarkan dalam perjalanannya ke Tulangan Sidoarjo dan pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang aktivis pergerakan Tionghoa, korespondensinya dengan keluarga Dela Croix (Sarah, Miriam, Herbert), teman Eropanya yang liberal, dan petuah-petuah Nyai Ontosoroh, nertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah, bahwa ia adalah bayi semua bangsa dari segala jaman yang harus menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu) dan berbuat untuk manusia-manusia bangsanya.


Juga sahabat Prancis “Jean Marais” orang yang pertama kali mengangkat topik tentang menulis dalam bahasa Melayu supaya semua orang pribumi bisa mendengarkan pemikiran Minke, yang menyerang Minke dengan anggapan tidak mengenal bangsanya sendiri dan menyarankan agar menulis dalam bahasa bangsanya (Melayu):


“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu” – hal 72-73


Ditambah lagi dengan persetujuan dari Kommer tentang hal yang sama mengantarkan Minke pada perenungan yang panjang. Bahwa ia seorang terpelajar yang harus menulis dan memberi bahan bacaan untuk bangsanya sendiri.


Yang menarik juga pada bagian terakhir, bagaimana pram sebagai dalang sangat linca dan cerdas, dengan skenarionya yang apik dan sangat menguras emosional, tidak hanya menampilkan roman kisah cinta antara Minke dan Annelis yang berunjung suram. 


Tapi juga menghadirkan toko-toko yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam satu ruang perlawanan bersama. Yang tidak lain hanyalah orang biasa seperti si pelukis Perancis; Jean Marais beserta Maysaroh, anaknya, serta Kommer si jurnalis berpandangan liberal dari surat kabar di Semarang. 


Turut pula Darsam, penjaga keamanan di perusahaan Nyai, jika dibandingkan dengan pangkat Ir. Maurits Mallema, justru mampu membuat Eropa yang beradab itu mati langkah tanpa mampu membalas kata. 


Dari hal ini, yang dapat saya tangkap, menunjukkan bahwa kalaupun kita sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk melawan kecuali hanya mulut saja, maka mulut pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai senjata perlawanan dalam mempertahankan hak milik kita. Dan dengan kata-kata yang lantang, alih-alih berhasil mengusir Nyai dan Minke dari kediamannya, Ir. Maurits Mallema justru pulang dengan kepala tertunduk.


“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia seorang sarjana” – Anak Semua Bangsa, hlm. 522


Selebihnya kalau ingin tahu lebih dalam dan merasakan bagaimana kehidupan awal abad ke 20 dari sisi yang menguras perasaan sambil baper karena tergiring suasana, cari bukunya dan baca langsung tanpa harus takut kekeringan makna. Karena cerita yang didalangi Pram tidak sama seperti kisa cinta dalam film yang berlatar belakang SMA yang kaya akan kata-kata tapi miskin akan pemaknaan. Di jamin tidak akan kecewa.



Penulis:

Panji Datunsolang

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Animal Farm : Sebuah Novel Satire Politik

6 April 2023 - 21:09 WITA

Review Buku | Jejak Langkah: Pengorganisasian dan Perlawanan

12 November 2021 - 09:50 WITA

Sekelumit Tentang Bumi Manusia Om Pram

28 Desember 2020 - 11:51 WITA

Trending di Review Buku