Sumber gambar pinterest, Pin |
Dari banyaknya tipologi mahasiswa, Toraju memilih menjadi sebagai aktivis. Sewaktu pengkaderan, didengarnya menjadi aktivis terlihat sangat keren. Tidak salah, pun dikemudian hari, Toraju, menjadi mahasiswa yang sangat aktif dalam banyak diskusi, dan kegiatan-kegiatan yang bersentuhan dengan masyarakat. Pilihan itu mengantarkan dia pada gerbang kesibukan yang tidak seperti mahasiswa pada umumnya. Saat yang lain disibukkan dengan tugas dari dosen di malam hari, atau justru tidur, Toraju masih bergelut dengan banyak hal: membuat undangan pensi, belum lagi meladeni beberapa mahasiswa didikannya yang datang untuk sekedar mendapatkan motifisasi darinya tentang masalah-masalah yang mereka bawa.
Aktifitas malamnya sangat padat, apalagi jika sudah disuguhi kopi oleh juniornya, istilah “hari-hari tidur pagi” tentu tidak bisa dihindari.
Mulai dari masalah diskusi fakultatif, ekonomi, filsafat, ke-islam-an, hingga paling klimaks membincangkan puan yang semakin hari, makin mempesona. Apalagi jika ada yang sedang putus cinta, tentu kita harus menunggu adzan subuh berkumandang lalu perlahan satu-persatu mengamankan diri, tidur.
Setelah itu, Toraju terbangun, pukul 11:00 siang. Itu sudah termasuk cepat, biasanya dia bangun sekitar pukul 02:00 siang jika tidak ada agenda organisasi. Setelah bangun dari tidur, Toraju sang aktifis mulai berangkat ke kamar mandi, berniat membersihkan dirinya, sesudahnya, bersiap menyeduh kopi untuk menemani dia menyelesaikan undangan pensi yang terbengkalai semalam.
Belum lama, datang lagi teman-temannya membawa kabar tentang kampus yang tidak ramah kepada disabilitas. Diskusi pun jadi panjang, hingga Toraju lupa tidak lama lagi hari mulai gelap.
“baiklah kalau begitu, besok di kampus kumpulkan sebanyak mungkin mahasiswa, kita akan berunding dengan Pak Rektor”. Tutup Toraju ditengah perbincangan.
“siap’
Malam minggu, konon adalah malam yang sangat spesial bagi mahasiswa untuk mengajak pacarnya jalan-jalan, menghabiskan uang hasil keringat orang tua. Aktifitas itu sering dilakoni oleh sahabatnya, siapa lagi jika bukan Abrar. Sementara Toraju masih berjibaku dengan serangkaian persiapan kegiatan yang kian mendesak.
“semoga malam ini huja lebat” Harapan Toraju yang sengaja diperdengarkan ke Abrar.
“aminnn, biar lebih hangat pelukannya” Abrar mengaminkan sambil melirik pada Toraju dengan sangat genit.
***
Aktivitas hari-hari tidur pagi itu terus dilakoni oleh Toraju, sampai-sampai dia lupa bahwa pagi adalah awal dari membangun segala hal yang dibincangkan dan yang telah dipersiapkan malam hari. Akhirnya, pengawalan isu kampus dia lewatkan, bagaimana mungkin Pak Rektor mau audiensi di jam-jam bangun tidur Toraju? tentu tidak. Begitupun kuliahnya, banyak yang terbengkalai, dan nilainya mengkhawatirkan.
Kegiatan yang dipersiapkannya sukses digelar, pun itu karena jam kegiatannya malam, setelah dari sana, setibanya di kost-an beberapa temanya juga sudah menunggu untuk kembali berdiskusi banyak hal. Imbasnya, besok ia kembali bangun kesiangan.
Hingga pada suatu siang, Toraju kaget, Abrar telah bersiap, mengemas pakaiannya untuk berangkat mewakili kampus pertemuan mahasiswa se-Indonesia di Jakarta, dalam rangka mendeklarasikan kampus ramah disabilitas. Toraju memaki dalam hatinya, Toraju merasa, dialah yang setiap malam mendiskusikan isu itu bersama mahasiswa yang lain. Sementara Abrar tidak intens, seharusnya dialah yang berangkat.
“kenapa kamu yang berangkat?”
“jadi gini, kemarin saat audiensi bersama Pak Rektor, dia menunjuk saya oleh karena kamu tidak hadir”.
Meski akhirnya dia merelakan Abrar berangkat, dalam hatinya masih mengganjal sesal. ditengah sesalnya, dia mengambil catatan kecilnya, dan secara kebetulan dia membuka halaman yang bertuliskan, “jangan menghentikan hati, meski penuh dengan kesedihan. Harta tuhan terkubur dalam hati yang patah”. Jalaluddin Rumi.
Sialnya, Toraju ketinggalan kereta oleh karena gulingnya tidak membangunkannya pagi hari.
Penulis,
Farid Mamonto