Sumber gambar mbak google |
Sesuatu yang ada, keberadaan dari sesuatu, hakikat akan keberadaan dari sesuatu menjadi dasar penggemblengan konsep ontologi dalam kajian filsafat secara umum. Teori tentang ada dan usaha dalam menemukan hakikatnya didasari pada kegelisahan manusia akan dirinya dan alam semesta. Hal ini bukan hanya menyangkut persoalan yang kasar (materi) melainkan satu bentuk yang metafisik yang itu disebutkan sebagai sesuatu yang mungkin ada dan mempengaruhi pola berfikir manusia. proses pencarian makna dan bentuk suatu wujud dalam kajian ontologi, banyak mempengaruhi paradigma berfikir para filosof, tidak terkecuali para ulama. Hal ini berdasarkan pengetahuan yang lahir dari sikap apriori dan aposteriori. Para filosof yang berkecimpung dalam madzhab materialistik dan rasionalis serta empirik, tentu menganggap sesuatu itu ada, berdasarkan relaitas ilmiah yang dapat diukur kapasitasnya. Hal ini berbalik arah dengan filosof imateriel dan idealisme, yang menganggap keberadaan dari sesuatu berdasarkan hukum kausalitas (sebab akibat) seperti gagasan Aristoteles, filosof klasik Yunani dengan konsep causa primanya. Sekalipun banyak yang mengkategorikan ia sebagai filosof rasionalis. Setidaknya Aristoteles mengambil bagian untuk memberikan gagasan akan hal yang sifatnya metafisik.
Ontologi yang berkutat pada aspek hakikat sesuatu, menimbulkan reaksi yang cukup serius sepanjang sejarah filsafat. mengapa demikian, ini terjadi sebab ontologi tidak sepenuhnya mempersoalkan makna dari sesuatu yang ada (material) namun aspek pengkajiannya sampai pada sesuatu yang mungkin ada (metafisik). mengenai pembicaraan tentang sesuatu yang abstrak tidak akan sampai pada batas akhir, melainkan arah pemikiranya akan bermuara pada relativitas berfikir manusia. kemudian akan dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Tentu masih dengan pembahasan yang sama. Hal ini kemudian memicu cara pandang baru dan sikap para filosof dalam memahami ontologi.
Berkaitan dengan itu, kajian metafisis, banyak melahirkan pemahaman baru. Dengan kata lain adalah teori turunan dari kajian ontologi. Kajian ontologi memang terlihat meluas dari berbagai macam aspek pengkajiannya, sehingga dalam menemukan konsepsi yang krusial terhadap penggalian makna ontologi, para filosof kemudian memberanikan diri untuk menyikapi ruang pengkajian ontologi. Sikap para filosof dalam memahami aspek ontologi, tidak larut dalam paradigma berfikir yang khas dari masing-masing tokoh filsafat. Salah satunya adalah paham filsafat agnostisisme.
Filsafat Agnostisisme adalah sebuah paham yang bisa dibilang berada pada posisi tengah antara teisme dan ateisme. Paham ini mengambil bagian untuk tidak ikut campur dalam polemik tentang adanya tuhan. Mereka tidak mengetahui adanya tuhan. Bahkan yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat tentang batasan manusia yang tidak dapat mengetahui tentang adanya tuhan serta kemahabenaranya. Mereka menganggap bahwa manusia tidak akan pernah mengetahi tuhan itu ada atau tidak. Dalam memahami hakikat sesuatu (ontologi) agnostik berangkat dari sikap skeptis tentang adanya tuhan, hingga bermuara pada ketidak tahuan tentang zat tuhan.
Agnostik memahami adanya tuhan, terkesan tidak kreatif dalam menemukan jawaban untuk sebuah masalah, tidak ada dedikasi dalam menemukan titik terang dalam maslah yang dihadapi khususnyan pada aspek ketuhanan. Konsekuensinya melahirkan teori spekulatif dalam pengkajian penciptaan alam semesta, yang berdasarkan paham materialistik dan perhitungan ilmiah. Ada dua hipotesa yang lahir dari kajian ontologi agnostik atau agnostisisme berdasarkan bukti. Pertama “keadaan tunak” bahwa alam semesta telah ada sebagaimana adanya dengan kondisi saat ini untuk selamanya, dengan kepadatan materi tidak lebih besar atau lebih kecil dari pada sekarang. Hipotesis lain, mengemukakan alam semesta terbentuk dari “Dentuman Besar”. Yakni alam semesta lahir dan terbentuk dari ledakan besar dan sejak saat itu materi bergerak semakin jauh. Sedangkan Di sisi lain dalam hal pembentukan spesies menurut kelompok agnostik bahwa keragaman antar spesies muncul akibat dari kekuatan acak, tetapi variasi itu yang kebetulan mengarah pada kesesuaian yang lebih baik, dengan tuntutan dan peluang lingkungan, kemudian dilestarikan dengan proses seleksi alamiah.
Agnostisisme berusaha untuk tidak melibatkan kekuasaan tuhan dalam segala hal. Dengan menunjukan bukti-bukti yang masih bersifat spekulatif dan sintetik. Mereka menganggap bahwa dalam memahami hakikat dari sesuatu, terdapat kausalitas yang nilainya real. Sehingga, wajar saja jika paradigma berfikir kelompok agnostik cenderung ilmiah dan mebutuhkan pembuktian, sebab bagi mereka manusia tidak akan pernah tahu bahwa tuhan itu ada atau tidak. Pemaknaan mengenai aspek ketuhanan yang ditawarkan agnostik terhadap realitas alam adalah bersifat materialistik dan tidak berlandaskan sesuatu terhadap kemampuan diluar diri manusia. Sehingga pemahaman ini akan mengalami gejala pembatasan pikiran dan matinya fungsi intuisi Seperti yang dipahami dan diyakini oleh kelompok Teisme.
Penulis,
Nasar Lundeto