Ilustrasi: Mediaindonesia.com |
“Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.”
(Soekarno)
Begitu bermaknanya kata-kata dari Bung Karno ini. Tapi, hari ini 10 pemuda saja tidak cukup, Bung. Dunia menjalani perkembangan yang pesat, bumi menjadi sesak dan padat. Semangat pemuda tak lagi semangat membara seperti zaman dulu. 10 pemuda hari ini bahkan tidak mampu menguncangkan pohon kelapa yang roboh karena ditiup angin. Apalagi untuk menguncangkan dunia, itu adalah hal yang sangat mustahil terjadi bahkan jika langit tak lagi biru. Ah sudahlah, kembali ke topik.
Pertama dan yang terutama, selamat HUT Bolaang Mongondow Utara yang ke-14. Di hari yang setahun sekali ini, saya ingin mengulas sedikit persoalan “pemuda” di Bolmut terkhusus para intelektualnya sebagai generasi penerus daerah bahkan negeri ini. Kemarin saya sudah mengeluarkan keresahan seputar kebijakan Pemda yang tidak bijak dalam menjalankan roda kepemimpinan. Untuk itu, sebagai manusia yang menghendaki keadilan, maka sepantasnya saya harus mengonggong untuk sedikit membangunkan kesadaran dari para pemuda yang ada di daerah, yang saat ini sedang menggali kuburnya sendiri—menurut hemat saya—biar tidak ada diskriminasi terhadap Pemda atau lebih tepat disebut Golongan Tua. Hihihi.
Baik, kita akan mulai pada pembahasan paling urgen dalam dinamika kepemudaan yang saat ini sedang asik-asiknya menggiati kecangihan zaman dan yang paling sering adalah “ngegibah” unfaedah—khusus untuk kaum perempuan. Hal ini kemudian menjadikan pemuda kurang, eh, bahkan tidak peka terhadap kejadian yang ada di sekitar. Tidak peduli dengan kemajuan diri apalagi daerahnya sendiri. Ini tentunya sangat miris sekali.
Betapa terkutuknya segala kecanggihan ini yang membuat manusia tercerabut dari akarnya. Pemuda yang akan memegang tongkat estafet dari kepemimpinan bangsa, malah lebih senang dengan gawai daripada buku, lebih senang nongkrong di tempat-tempat umum daripada forum-forum diskusi. Bisa diprediksi sepuluh, duapuluh tahun lagi daerah ini akan dipimpin oleh orang-orang yang lemah secara intelektual, jika yang diurusi pemuda hanya kesenangan pribadi dengan menepikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial.
Pendidikan harusnya mengantarkan para anak daerah sebagai manusia yang memiliki kualitas dan potensi diri yang memadai dalam mengarungi kehidupan yang singkat, padat, dan jelas ini. Namun lihat betapa pendidikan dan gelar hanya menjadi ajang gaya-gayaan. Saya pernah mendengar lagu yang judulnya saya lupa yang jelas liriknya begini, “Banyak gaya kosong isinya, sedikit gerak banyak maunya, katanya sekolah tapi otaknya mana, tolong dirubah pola pikirnya.” Lagu ini mengambarkan betapa memprihatinkannya pemuda-pemuda masa kini, saya pun merasa tersindir dengan lirik-likirnya, tajam dan mengiris. Lagu ini sebenarnya mengajak kita untuk memperbaiki diri, masih belum terlambat. Keluar dari zona nyaman dan beraksilah, daerah butuh pemuda yang berani.
Bolmut adalah daerah yang indah dengan segala sumber daya alamnya, terbalik dari itu, sumber daya manusia menjadi sangat lemah bagai dinding rumah saya yang nyaris roboh. 14 tahun lamanya daerah ini dimekarkan, tapi bagi saya belum ada yang bisa dibanggakan. Misalnya hari ini, Bolmut mulai memasuki usia remajanya. Di usia yang sebegini apa peran pemuda dalam mengawal kebijakan-kebijakan daerah? Saya tidak melihat itu di Bolmut, bahkan kita menjadi pemuda yang terkebelakang. Misalnya dinamika organisasi yang ada di daerah, para kadernya hanya sibuk mengenakan PDL (Pakaian Dinas Lapangan) ketika ada kegiatan-kegiatan keorganisasian yang akan digelar. Contohnya, saat ada pengkaderan atau menghadiri undangan dari organisasi lain, di situ eksistensi akan terlihat, padahal makna logo yang menempel di baju saja tidak diketahui.
Tapi, ketika ada forum-forum intekektual di internal organisasi, maka itu adalah satu kebosanan yang nyata bagi kebanyakan kader. Ini menyebabkan kemunduran secara intelektual juga tindakan dari anak-anak daerah. Lantas jika majelis keilmuan saja enggan dikunjungi, bagaimana akan memimpin daerah ini ke depannya? Modal ganteng? Modal cantik? Modal orang dalam? Pemikiran terlalu sempit jika mengandalkan hal itu. Jika ada pemuda yang berpikir demikian, ada baiknya bertapa di Gunung Mokapog dulu selama sebulan tanpa makan dan minum.
Bidang keilmuan kadang menjadi momok menakutkan dan tidak penting untuk digandrungi. Hal ini yang kemudian menyebabkan Bolmut banyak mencetak generasi yang “lombo” dari berbagai sudut. Bagi saya kecerdasan pikiran dan kecerdasan tindakan adalah dua aspek yang harus dimiliki oleh setiap pemuda, jika keduanya sudah melekat, bisa dipastikan Avatar akan bisa dikalahkan dalam satu kedipan mata.
Sekilas Bolmut memang terlihat maju, tapi coba lihat secara jelas, bahwa yang menentukan bagaimana daerah ini ke depannya lagi-lagi adalah dari pemuda itu sendiri, bukan dari infrastruktur yang semakin memenuhi tanah-tanah yang ada di kabupaten. Bisa dilihat potensi pemuda yang saat ini kebanyakan tidur larut malam dan bangun kesiangan, lantas akan jadi apa daerah ini jika para lelakinya hanya sibuk mempermainkan perempuan dan perempuan hanya sibuk dipermainkan laki-laki?—itu juga salah satu faktor kemunduran yang paling nyata. Sekali lagi jika pemuda Bolmut tidak ada rasa empati terhadap bagaimana daerah ini kedepannya, maka daerah ini hanya akan mencetak generasi apatis, Bolmut menjadi hidup segan mati tak mau.
Selamat memasuki masa pubertas, Bolaang Mongondow Utara tercinta, semoga tidak salah jalan, tetap hidup meski pemuda menjadi generasi super “lombo”. Salam hangat dari ratusan kilometer terpisah jarak. Sekali lagi selamat.
Penulis,
Alin Pangalima